KAJIAN SEMIOTIK LUKISAN KAWAN-KAWAN REVOLUSI KARYA S. SUDJOJONO

 PENDAHULUAN

“Seni adalah jiwa ketok” (jiwa yang tampak). Kalimati ni adalah prinsip S. Sudjojono (1914-1986) dalam mendalami seni rupa terutama ditekankan pada muridmuridnya dalam membesarkan perkembangan seni rupa Indonesia di bawah organisasi yang dinamakan dengan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), didirikan pada tahun 1937 (Soedarso:2000). Sudjojono disebut sebagai bapak seni rupa Indonesia atas sepak terjangnya dalam membina dan mengembangkan seni lukis di mana Indonesia dalam masa krisis sosial, politik, dan ekonomi. Salah satu lukisan yang menggambarkan suatu kondisi masyarakat di zaman S.Sudjojono berjudul ‘Kawankawan Revolusi’. Selintas lukisan ini menggambarkant okoh-tokoh yang terkesan heroik dalam mengembangkan semangat perjuangan di segenap penjuru Bangsa Indonesia. Namun saat ini, arti kata dari “kawan-kawan” dan “revolusi” mesti harus dipertanyakan atau ditafsiru lang guna mendapat kejelasan agar dapat diterima atas dasar kebenaran universal dan atas apa-apa yang diperjuangkan. Kawan-kawan yang bagaimana? Dan revolusi yang bagaimana? Atas dasar apa revolusi dilaksanakan? Seberapa penting revolusi pada saat itu dan juga pada saat ini untuk orang banyak?Pertanyaan-pertanyaan di atas bersandarkan pada bentuk lukisan itu sendiri, yakni karakter dalam lukisan tersebut. Sebelum melakukan pembacaan lebih jauh, dapat dipaparkan karakter yang dimaksud, di antaranya seorang seniman berkacamata dengan topi khas, seorang panglima maupun jendral, pemikir dan juga seorang anak-anak, anak muda hingga orangtua. Beberapa tokoh lukisan yang terdapat pada bagian kanan dan terutama pada bagian kiri lukisan, tidak begitu jelas terlihat, kalaupun terlihat hanya saparuh wajah samar. Setiap tokohnya menghadap dengan posisi yang berbeda; anak muda yang berada di bagian tengah atas lukisan menatap bernas kedepan dengan background warna terang dan gelap; merah, kuning, coklat, yang masing-masing warna menandakan amarah, kekecewaan, ketakutan dan memungkinkan penafsiran beragam. Beberapa tokoh lainnya, sebagiannya lagi menyamping – menghadap kearah “kanan”. Mengapa tidak satupun tokoh menghadap ke “kiri”? Seakan sekelompok tokoh yang salingm enghadap (berpaling) ke kanan memberi kesan kesatupahaman. “Kawan-kawan Revolusi” dalam realitas sejarah. Lukisan Sudjojono (‘Kawan-kawan Revolusi’) mengendap di dalamnya suatu persoalan yang dapat kita jumpai saat sekarang ini, bahkan akrab ditengahtengah masyarakat. Lukisan berjudul ‘Kawan-kawan Revolusi’ dilukis pada tahun 1947, pada bagian lukisan terentang kesedihan seorang anak, memperlihatkan wajah ketakutan dalam pangkuan seorang laki-laki separuh baya. Apakah anak tesebut dapat juga disebut pejuang revolusi atau dampak dari revolusi? Kenapa masih juga terentang tangisan ketika revolusi dijalankan? Pada umumnya tokoh-tokoh dalam lukisan terlihat kaku, masing-masing terkesan memendam kecurigaan antar satu dengan yang lainnya. Perlu disadari, lukisan ini dibuat dua tahun setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Ini merupakan kondisi dimana masyarakat masih dibayang-bayangi rasa anxitas (kecemasan) mendalam atas peristiwa berdarah sebelumnya dan juga tragedi yang akan datang. Bukan tidak mungkin, dua tahun Indonesia merdeka persoalan serupa masih membayang, bahkan persoalan kemerdekaan masih dipertanyakan pada saat sekarang. Pertanyaannya, bagaimana posisi perempuan dalam perjuangan bangsa Indonesia, sehingga tidak satupun terlihat dalam lukisan tersebut? Apakah mutlak kaum adam yang menjadi andil besar dalam perjuangan Indonesia? Bukankah memasak, mencuci, membuat kopi disela-sela tetes keringat suami adalah cara tersendiri bagi perjuangan kaum perempuan atas kehormatannya, anak cucunya dan juga bangsanya? Atas pertanyaan sebelumnya, mengapa Sudjojono memberi judul ‘Kawan-kawan Revolusi’ pada karyanya? Apakah judul tersebut dipahami sebatas harafiah dalam rangka mengenang jasa pahlawan tanpa tendensi tertentu atau sebaliknya, lukisan ini merupakan kritik yang ditujukan pada pejuang kita? Umumnya manusia memiliki sifat yang sama hanya cara hidup yang berubah. Materi yang dipersoalkan saja berubah akan tetapi kalangan masyarakat hipokrit (munafik), penindasan, kekerasan, pembunuhan, penzaliman, sifat-sifat ini bukanlah hal baru di tengahtengah masyarakat hari ini. Sehubungan dengan lukisan Sudjojono yang berjudul ‘Kawan-kawan evolusi’ banyak hal yang mesti diragukan adanya. Realitas bukanlah kebenaran mutlak, keberadaan kebenaran mesti disangsikan, diragukan, dipertanyakan, sejauh mana kebenaran dapat disebut benar dan terutama dapat diterima oleh akal sehat.

Isi

Penelitian ini bersandarkan pada analisis terhadap gambar-gambar tokoh yang terdapat dalam lukisan sudjojono berjudul “Kawan-kawan Revolusi”.Oleh karena itu, kerangka teoritik yang dianggap relevan ialah teori semiotik, Lahirnya berbagai pandangan hidup di antara pemimpin bangsa ini semakin mempertegas kesimpangsiuran masa depan bangsa akan mau dibawa kemana, di mana akan dilabuhkan; sosialisme, nasionalisme, komunisme, liberalisme, kapitalisme dan masih banyak lagi. Semakin tegas pergesekan ideologi yang lahir semakin jelas pula bagaimana penderitaan rakyat bangsa ini. Penderitaan dari jajahan fisik yang berdampak pada kejiwaan atau pun mental. Sehingga dampak lain dari itu, suatu sikap berkesian pun akan lahir dari upaya mendengarkan, menurut suatu grup moraliserende-mensen (orang-orang yang sok bermoral) atau menjadi budak dari partai ini atau partai itu. Seniman harus merdeka-semerdekanya, terlepas dari segala ikatan moral maupun tradisi untuk bisa hidup subur, segar, dan merdeka (Sudjojono:2012). Ketertindasan yang dialami bangsa Indonesia menurut Sudjojono berdampak pada sikap atau mental yang kurang menguntungkan lajunya perkembangan bangsa Indonesia. Di balik itu, bagi Sudjojono dan kawankawan, ketertindasan juga merupakan cambuk untuk bangkit menantang invansi, mempertahankan prinsip hidup dan ideologi, terutama harga diri. Dalam karyanya, di tengah-tengah maraknya ideologi yang mengambang di tanah air (bangsa Indonesia), gagasan-gagasan estetika Sudjojono lebih menekankan dan menyerukan pentingnya Nasionalisme, meskipun pengungkapannya Internasional (Universal). Pengungkapan nilai-nilai estetis tidaklah dapat berdusta, seutuhnya jujur, karena kejujuranlah nilai-nilai itu menjadi bermakna. Kejujuran kalbu dalam mengamati lingkungan, baik lingkungan sosial maupun budaya akan menumbuhkan jiwa kritis terhadap segala sesuatu. Itulah yang kemudian menjadi semangat Nasionalisme. Melalui pengungkapan yang jujur, seorang seniman akan mengungkapkan realitas yang sebenarnya, baik kejelekannya atau kebaikannya. Ketertindasan menjadikan sebagian rakyat Indonesia (seniman) kehilangan pandangan hidup, dan hanya mampu melihat kulit luar tapi samar dalam melihat kedalaman. Sehingga pengungkapan ke dalam karya pun sebagian seniman pada masanya cenderung mempresentasikan sesuatu hal yang indah-indah, yaitu tidak lain dari lukisan-lukisan pemandangan: sawah dibajak, sawah yang berair jernih dan tenang atau gubuk di tengah-tengah padang padi, tidak lupa pula pohon-pohon kelapa di dekatnya atau bambu dan gunung yang kebiru-biruan di jauh mata (Sudjojono:2006). Tidak mampu menjangkau penderitaan sebagian jiwanya dari apa yang mereka lihat. Berbalik dengan Sudjojono, yang lebih menekankan prinsip hidup, mampu menjangkau sebagian jiwanya yang tercerabut. Sehingga bagi “Kawan-kawan Revolusi” untuk dapat sedikit menunda rasa besar hati, dan seyogianya mencoba mengamati dan memahami jika dalam gaya ungkap Sudjojono terdapat kejujuran yang benar-benar pahit. Pahit, itulah realitas yang sebenarbenarnya realitas pada masanya. Berindah-indah baginya menandakan sikap yang hipokrit (munafik), bertolak belakang dari realitas, tidak memiliki nilai, dan tidak lebih hanya sekedar mengisi waktu luang dengan tujuan gaya-gayaan (nyeniman). Senada dengan itu, Jakob Sumardjo menegaskan dasar ideologi seni modern Indonesia (pada umumnya) dengan bentuk ungkapan; “perkembangan seni modern Indonesia tidak di waktu ada kemewahan, tetapi malahan di waktu kita serba kekurangan, mengalami perjuangan, bencana dan penderitaan ”(Sudjojono: 2006). Pahit memang, namun begitulah adanya Sudjojono, sebagian koleganya menyatakan gaya ungkapnya yang lugas, tepat mengena sasaran, meski terkadang ada juga kesamaran. Hal tersebut menandakan begitu sesaknya pahit realitas yang dirasakannya, sehingga dalam pengungkapannya terkesan acak, sesak, seperti dalam lukisannya yang berjudul ‘Kawan-kawan Revolusi’. Karena pada dasarnya seorang seniman yang mampu dengan benar-benar jujur mengekspresikan dirinya sendiri pada hakikatnya dapat dilihat dari hubungan realitas dan karya seninya yang merupakan hakikat dirinya, yang oleh Sudjojono disebut sebagai jiwa ketok (“jiwa yang tampak”). Terlepas apapun objeknya, jika seorang seniman berpegang pada prinsip diri, akan terlihat jiwa yang besar. Jiwa besar yang terdapat dalam lukisan menandakan pandangan estetika yang “membumi”. Estetika dalam karya menandakan adanya hubungan antara karya seni dan penikmatnya (realitas yang diungkapkan). Dalam paham estetika, estetika seyogianya mewakili suatu paham, pandangan hidup yang mewakili orang banyak menuju keselamatan hidup, tentram dan sejahtera. Jika hal tersebut telah dilaksanakan, akan dapat dilihat bagaimana estetika dalam karya seni “ini” maupun “itu”. Masing-masing akan memiliki ciri, karena berpijak dari suatu pandangan hidup. 

Kesimpulan 

berangkat dari paparan pada halaman-halaman sebelumnya, sangat jelas bahwasanya dalam ‘Kawankawan Revolusi’ tersirat kritikan, kecaman, kekecewaan mendalam dari Sudjojono sendiri atas segala keganjilan hidup yang dirasakan semasa hidup atau pun dalam kehidupan yang akan datang. Maknamakna yang lahir secara spontan tidak henti-hentinya bermunculan dari dalam kanvas. Bayangan-bayangan kepedihan dan penderitaan dari masa lalu ataupun masa yang akan datang. Lahir dan besar di tengah-tengah masyarakat yang setiap waktu selalu merasa cemas; seperti apa hidup yang mesti dijalani esok hari? Membuat Sudjojono sangat peka dalam pelukisan-pelukisan apa-apa yang tersirat dalam realitas, sehingga hasil dari setiap goresan pada kanvas dapat pula menjadi saksi kejamnya peradaban antar manusia di tanah bangsa (Indonesia) ini. Inilah fokus utama kenapa ‘Kawankawan Revolusi’ hadir. Jiwa nasionalis yang begitu tinggi pun tergambar dalam ‘Kawan-kawan Revolusi’. Mungkinkah ‘Kawan-kawan Revolusi’ menandakan ketakjuban dan suatu bentuk sanjungan Sudjojono terhadap pahlwan-pahlawan bangsa, mengingat kenyataan pahit yang telah diterima rakyat kita? Jika benar adanya, dapat pula kita kritisi; bukankah begitu banyak deretan nama-nama revolusioner dari kaum perempuan yang sama-sama memikul beban perjuangan seperti halnya kaum laki-laki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Konsep, Estetik dan Makna pada Ilustrasi Rangda Karya Monez

REVIEW PENELITIAN KESENIAN DAN DESAIN